Tejo itu bukan nama saya. Tejo nama bapakku. Sejak itu aku pakai nama Tejo, dan teman-teman di kampus pelan bertahap mulai memanggilku Tejo. Aku pun masuk ke Persatuan Seni Tari dan Karawitan Jawa (PSTK ITB) malah kemudian menjadi ketua bidang pedalangan di unit kegiatan kampus itu.
Semua pengalaman bersama ibu itu menggetarkan hati. Setiap aku pergi dari rumah, aku selalu sujud di pintu keluar membujur utara-selatan dan ibu melangkahiku tiga kali. Adegan ini pernah aku pakai ketika menyutradarai film “Bahwa Cinta Itu Ada” tahun 2009. Pelakonnya Aryo Wahab dan Niniek L. Karim. Produser dan teman-teman tanya, itu tradisi dari mana…aku jawab “nggak tahu…pokoknya dulu aku seperti itu…”
Meski semua menggetarkan bersama ibu, tapi mungkin yang paling menggetarkan adalah ketika aku putuskan meninggalkan ITB. Ibuku pingsan ketika itu. Tapi aku menghibur diri. Tak apa-apa, toh dulu di wayang Dewi Kunti juga pingsan ketika anaknya, Bima, kuku pada pendiriannya yang berbeda dengan pendirian ibu. Waktu itu Bima bersikukuh mau mencebur laut selatan untuk meniti cita-citanya. Kunti tidak setuju. Dengan meninggalkan ITB, aku kan juga ingin meniti karir kesenian.
Tentang Kejadian yang Mengubah Diri
Dulu aku suka komik-komik silat, termasuk karya-karya asmaraman Kho Ping Hoo. Serial film Bruce Lee termasuk yang aku ikuti. Nah, cita-citaku jadi pendekar. Saya sering pakai caping tapi sepatu bigboss ala Bruce Lee, meniup seruling bambu duduk di pantai. Itu di Situbondo, kota kecil di Jatim.
Menginjak SMA saya mulai membaca buku-buku politik. Kamar saya ada poster Bung Karno. Saya bersepeda pancal dari Situbondo ke Blitar, berdua dengan teman, untuk berziarah ke makam Soekarno. Dua hari dua malam perjalanan.
Cita-cita jadi pendekar saya lupakan. Yang ada saat itu cita-cita menjadi politisi. Masuklah saya ke ITB. Karena Soekarno berasal dari situ, dan mahasiswa ITB dikenal suka politik, suka demo. Hehehe….
Eh, ketika di Bandung ternyata teman-teman saya lebih banyak dari kalangan seniman…Di kampus itu tahun 1983 saya malah mendirikan Unit Ludruk ITB. Jiwa dalang saya yang sudah muncul sejak kanak-kanak, karena ayah saya memang dalang, tiba-tiba muncul lagi justru di tanah Sunda.
Keluar dari ITB ditolak oleh Srimulat dan diterima jadi wartawan Kompas, makin membuat pergaulanku erat sama seniman-seniman seperti Rendra, Teguh Karya dan lain-lain. Jadilah aku ya ndak karu-karuan seperti sekarang ini. Hehehehe….
Sumber:http://bukik.com
0 comments:
Post a Comment